Sabtu, 17 Agustus 2013

Politik, Pilihan Tabu Kaum Perempuan

Oleh : Ana Diana S.
Tulisan ini menanggapi opini saudari Euis Noor Fauziah di Radar Tegal, Senin (12/08/2013). Dalam tulisan berjudul Keseriusan Perempuan dalam Berpolitik, dipaparkan kesadaran perempuan untuk berkiprah dan berpartisipasi di dunia politik masih rendah. Indikasinya dilihat dari kesulitan  sejumlah partai politik dalam memenuhi kuota 30 persen calon anggota legeslatif (caleg) dalam pemilu 2014 mendatang.
Sebagai solusinya, saudari Euis berpendapat perlu dilakukan peningkatan peranan perempuan dalam politik secara kualitas dan kuantitas. Singkatnya, dibutuhkan peran keluarga untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak perempuannya, bahwa  berkiprah dan berpartisipasi di dunia politik merupakan satu bagian penting membangun masyarakat, bangsa, dan negara. 
Tak hanya itu, keluarga disarankan mendorong anak perempuannya mengikuti organisasi seperti OSIS, Pramuka, dan organisasi lainnya sejak dini. Sebab, menurut dia perempuan yang banyak berkiprah di dunia politik saat ini adalah aktifis jebolan berbagai organisasi.
Menurut Euis, jika perempuan aktif di berbagai organisasi sejak dini seperti OSIS, BEM, HMI, PMII, GMNI, KNPI, Muhammadiyah, NU, maka berarti secara sadar kaum perempuan telah mempersiapkan diri menjadi pemimpin.
Kesempatan Berpolitik
Menurut penulis, pendapat saudari Euis dalam menjawab persoalan lemahnya kesadaran perempuan dalam berpolitik di atas kurang tepat. Sebab, pada dasarnya keluarga di Indonesia saat ini sudah memberikan kesempatan pendidikan kepada anak perempuannya sejajar bahkan bisa lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Konsekuensinya, kesetaraan pendidikan tersebut membawa perempuan berpeluang sama dengan laki-laki dalam berbagai kemampuan dan pekerjaan di sektor publik,  termasuk juga urusan politik.
Kemudian, sebenarnya tidak perlu bersusah payah mendorong perempuan berorganisasi sejak dini. Toh, sudah dari zaman penjajahan, perempuan gemar berorganisasi dan memiliki organisasi perempuan sendiri. Bahkan hampir di setiap organisasi terdapat lembaga khusus yang menaungi perempuan. Sebut saja Fatayat, Muslimat, dan Nasyiatul Aisyiyah-lembaga khusus organisasi yang memberikan kesadaran politik dan berbagai kecakapan kepemimpinan kepada kaum perempuan NU dan Muhammadiyah. Di tingkatan desa pun, perempuan sudah dihimpun dalam kegiatan dan perkumpulan produktif seperti PKK. 
Jadi, menjadi suatu hal yang tak lazim kalau perempuan zaman modern dikatakan kurang sadar  berpolitik? Mengapa juga partai politik mengaku kesulitan memenuhi kuota 30% perempuan dalam pencalegan. Bukankah sudah setiap tahunnya  organisasi-organisasi yang ada melatih dan melahirkan kader terbaik calon pemimpin bangsa?
Persoalan Mendasar
Ada persoalan lebih mendasar terkait mengapa perempuan terkesan kurang greget dalam urusan politik. Pertama, paradigma kepemimpinan perempuan itu sendiri. Banyak perempuan cenderung tidak mempercayai pemimpin dari kalangan mereka  sendiri karena menjadikan laki-laki sebagai tujuan final urusan kepemimpinan. Perempuan seperti ini menjadikan QS. An-Nisa ayat 34-“Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan” sebagai pembenar dan dogma.
Kedua, partai politik masih setengah hati memberikan kesempatan berkompetisi kepada kaum perempuan. Sejauh ini  perempuan seringkali hanya menjadi pelengkap dan pendulang suara. Dalam penentuan nomor urut pemilihan calon legieslatif misalnya, perempuan kerap mendapatkan nomor urut tidak strategis. Jikapun mendapat nomor urut jadi, biasanya hanya diberikan kepada kalangan artis atau yang memiliki modal finansial besar. 
Alhasil, kalangan perempuan bermodal terbatas namun berkualitas yang lahir dari berbagai organisasi sulit maju dalam dunia politik. Imbasnya, mereka terpaksa harus menghindar dari gemerlap dunia politik memilih  dunia di luar politik (profesional). Apalagi pilihan karir di dunia profesional saat ini sangat terbuka dan lebih menjanjikan kepada perempuan.
Sederhananya, menurut penulis, dunia politik saat ini belum menjanjikan sebagai pilihan berkarya bagi perempuan. Mereka  lebih menganggap lini profesional seperti guru, dosen, ilmuwan, ekonom, pengusaha, dan penulis lebih masuk akal daripada menjadi politisi. Bahkan harus diakui, pilihan menjadi artis atau model lebih diidolakan.
Membenahi Partai Politik
Melihat kenyataan ini, sudah sepantasnya partai politik di Indonesia berbenah menawarkan sesuatu yang lebih menjanjikan kepada kaum perempuan. Partai politik harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan berkualitas untuk berjuang di dunia politik tanpa mempertimbangan uang dan status keartisan. Kepada politisi perempuan yang sudah berkecimpung di dunia politik pun, harus mampu membuktikan dirinya dapat memberikan hasil positif kepada masyarakat.
Jika semua di atas terwujud, penulis yakin dunia politik akan menarik dan diidam-idamkan kaum perempuan. Bahkan, jika perempuan Indonesia sudah memandang dunia politik juga bisa membawa kepada kesuksesan hidup, maka partai politik tak usah lagi pusing mencari politisi perempuan sehingga UU keterlibatan 30% perempuan dalam politik tidak perlu lagi ada.
Kesadaran Baru
Butuh pelurusan pemikiran dan pandangan baru tentang kepemimpinan kaum perempuan. Ayat An-Nisa ayat 34 ini dipahami salah kaprah oleh sebagian besar masyarakat. Padahal sebenarnya ayat tersebut berbicara tentang kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang rumah tangga semata. Kepemimpinan itupun tidak lantas mencabut hak-hak perempuan (istri) dalam berbagai segi, seperti dalam harta kepemilikan pribadi meski tanpa ada persetujuan suami. 
Jadi, pelurusan pemikiran tentang kebebasan berpolitik bagi perempuan perlu diterapkan sebagai upaya diri dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar (berpolitik) dalam membangun kehidupan bangsa dan negara menjadi lebih baik. Walloohu a’lam bisshowaab.

Ana Diana, Aktivis HMI-wati Pemalang

CATATAN : Tulisan ini dimuat di harian Radar Tegal (16/08/2013)