Kamis, 05 Juli 2012

Masjid Sekadar Kepentingan dan Merek Intelektual

Oleh : ANA DIANA SOLICH*

Indonesia dengan kondisi masyarakat yang majemuk memiliki pertumbuhan kebudayaan agama yang subur. Kebudayaan sendiri merupakan keseluruhan yang kompleks tentang pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lain sebab keduanya merupakan sebuah nilai dan simbol.
            Perwujudan Islamisasi kebudayaan memerlukan strategi tersendiri agar dapat terus lestari selama tidak melanggar ajaran dan norma agama, dan agar tidak serta merta diserang dengan tuduhan bid’ah yang menjadikan suatu kebudayaan arif positif menjadi punah. Salah satu basic yang sebenarnya dapat mewadahi dakwah dan pembelajaran multidimensi, kaffah, dan komprehensif adalah masjid. Namun hari ini masih banyak kekeliruan orientasi dalam diri umat Islam saat memberdayakan masjid.
             Selain sebagai tempat ibadah bagi kaum muslim, masjid memiliki fungsi yang sangat beragam dalam menejemen pengelolaannya, mulai dari ubudiyah, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Beberapa masjid besar sudah menerapkan pengelolaan terpadu, sebagian takmir masjidnya sudah memfungsikan keberadaan masjid layaknya pada masa Rasulullah SAW. Namun, masih ada juga yang belum mengoptimalkan sehingga masjid hanya dijadikan media hubungan transendental.
            Lepas dari fungsi-fungsi tersebut, kondisi masjid kini banyak yang telah berubah. Peranan masjid di masa lalu telah digoyangkan dengan lembaga-lembaga baru, yakni organisasi keagamaan baik swasta maupun pemerintah yang ikut secara langsung ataupun tidak langsung memonitori kelangsungan duniawi dan ukhrowi umat beragama. Sangat sensitif jika kita menengok pada kesan kepemilikan masjid atas suatu lembaga tersebut. Lembaga tersebut dapat berkiprah dan menundukkan sistem material dan teknis melebihi masjid itu sendiri.
            Adanya masjid saat ini menampakkan bahwa agama Islam semakin terkotak-kotakkan menjadi kubu-kubu tertentu. Belum lagi jika masjid sudah menjadi simbol kepentingan atau malah kekuatan politik tertentu. Masyarakat yang berkiblat pada ormas tertentu misalnya, enggan untuk sekedar mendatangi dan beraktivitas di masjid yang background ormasnya berbeda dengan yang diikutinya. Para orang tua tidak mau memasrahkan anaknya untuk belajar mengaji kalau bukan masjid tempat anaknya belajar sesuai dengan ormas yang sepaham.
Fenomena ini semakin mengidentikkan perbedaan, seperti Muhammadiyah, NU, Salafi, dan lainnya. Semisal, masjid A untuk yang bersarung, masjid B untuk yang celananya di atas mata kaki, masjid C untuk yang berjilbab besar, atau masjid D untuk yang jilbab funky dan gaul. Hal ini dapat berdampak pada perluasan jarak kesenjangan dalam intern umat beragama. Sudah banyak permasalahan yang berawal dari adanya pemahaman terhadap suatu kaidah agama, meskipun tidak sampai terjadi perpecahan, namun penghayatan akan fungsi dan nilai masjid menjadi tidak semestinya.
Masjid Kampus – Gerakan Intelektual Islam
Masjid kampus, khususnya di kampus sekuler dulu hanya berfungsi sebagai tempat salat mahasiswa saja. Seiring dengan belanjutnya era yang disertai pembaruan infrastruktur fisik maupun non fisik, kini masjid kampus telah bertambah fungsinya, mulai dari diskusi, kajian, dan strategi syiar, dan atau kegiatan akademik-non akdemik lainnya. Masjid kampus selayaknya dapat melahirkan generasi intelektual Islam baru.
            Gerakan-gerakan mahasiswa Islam seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI dapat menjadi motor dan katalis bagi berlangsungnya nafas Islam dan akademik di kampus. Adanya gerakan mahasiswa tersebut semestinya menjadikan wajah Islam semakin spektakuler. Permasalahannya, bagaimana mengintegrasikan mereka ke dalam umat?
            Melalui masjid kampus, jamaah atau studi kampus, dan organisasi mahasiswa Islam yang sehat, dapat melahirkan kebudayaan baru, studi Islam kekinian, dan yang paling penting bagaimana nanti mereka dapat berinteraksi dengan masyarakat di luar sebagai pengahayatan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi sesuai dengan basic keilmuannya. Sayangnya, tidak banyak organisasi mahasiswa Islam yang bisa leluasa masuk ke masjid kampus karena sifat organisasi tersebut bukan organisasi internal kampus. Hanya gerakan yang memiliki channel ke internal kampus yang bisa masuk. Ironisnya, kadang warga kampus tidak sadar ketika masuknya gerakan tersebut bisa saja diboncengi oleh lembaga atau kekuatan lain yang bisa saja bersifat politis dan ekstrim.
            Semuanya kembali pada gerakan mahasiswa itu sendiri sebagai pelopor peradaban inetelektual Islam. Bagaimana membumikan nafas inetelektual tersebut? Satu yang menjadi PR adalah  bagaimana mereka dapat mempertanggungjawabkan label Islam yang ada pada Gerakan mahasiswa Islam itu sendiri. Yakin Usaha Sampai!
 
*mahasiswi Fakultas Biologi Unsoed  dan pegiat Bale Adarma Purwokerto
Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cbg. Purwokerto kom. Biosains

CATATAN : Tulisan ini dimuat di kolom Public Service harian SATELIT POST Kamis, 5 Juli 2012, halaman 10.