Oleh : Ana Diana S.
Tulisan ini menanggapi opini saudari Euis Noor Fauziah di
Radar Tegal, Senin (12/08/2013). Dalam tulisan berjudul Keseriusan Perempuan
dalam Berpolitik, dipaparkan kesadaran perempuan untuk berkiprah dan
berpartisipasi di dunia politik masih rendah. Indikasinya dilihat dari
kesulitan sejumlah partai politik dalam memenuhi kuota 30 persen calon
anggota legeslatif (caleg) dalam pemilu 2014 mendatang.
Sebagai solusinya, saudari Euis berpendapat perlu dilakukan
peningkatan peranan perempuan dalam politik secara kualitas dan kuantitas.
Singkatnya, dibutuhkan peran keluarga untuk memberikan pemahaman kepada
anak-anak perempuannya, bahwa berkiprah dan berpartisipasi di dunia
politik merupakan satu bagian penting membangun masyarakat, bangsa, dan
negara.
Tak hanya itu, keluarga disarankan mendorong anak
perempuannya mengikuti organisasi seperti OSIS, Pramuka, dan organisasi lainnya
sejak dini. Sebab, menurut dia perempuan yang banyak berkiprah di dunia politik
saat ini adalah aktifis jebolan berbagai organisasi.
Menurut Euis, jika perempuan aktif di berbagai organisasi
sejak dini seperti OSIS, BEM, HMI, PMII, GMNI, KNPI, Muhammadiyah, NU, maka
berarti secara sadar kaum perempuan telah mempersiapkan diri menjadi pemimpin.
Kesempatan Berpolitik
Menurut penulis, pendapat saudari Euis dalam menjawab
persoalan lemahnya kesadaran perempuan dalam berpolitik di atas kurang tepat.
Sebab, pada dasarnya keluarga di Indonesia saat ini sudah memberikan kesempatan
pendidikan kepada anak perempuannya sejajar bahkan bisa lebih tinggi dibanding
anak laki-laki. Konsekuensinya, kesetaraan pendidikan tersebut membawa
perempuan berpeluang sama dengan laki-laki dalam berbagai kemampuan dan
pekerjaan di sektor publik, termasuk juga urusan politik.
Kemudian, sebenarnya tidak perlu bersusah payah mendorong
perempuan berorganisasi sejak dini. Toh,
sudah dari zaman penjajahan, perempuan gemar berorganisasi dan memiliki
organisasi perempuan sendiri. Bahkan hampir di setiap organisasi terdapat
lembaga khusus yang menaungi perempuan. Sebut saja Fatayat, Muslimat, dan
Nasyiatul Aisyiyah-lembaga khusus organisasi yang memberikan kesadaran politik
dan berbagai kecakapan kepemimpinan kepada kaum perempuan NU dan Muhammadiyah.
Di tingkatan desa pun, perempuan sudah dihimpun dalam kegiatan dan perkumpulan
produktif seperti PKK.
Jadi, menjadi suatu hal yang tak lazim kalau perempuan zaman
modern dikatakan kurang sadar berpolitik? Mengapa juga partai politik
mengaku kesulitan memenuhi kuota 30% perempuan dalam pencalegan. Bukankah sudah
setiap tahunnya organisasi-organisasi yang ada melatih dan melahirkan kader
terbaik calon pemimpin bangsa?
Persoalan Mendasar
Persoalan Mendasar
Ada persoalan lebih mendasar terkait mengapa perempuan terkesan
kurang greget dalam urusan politik. Pertama,
paradigma kepemimpinan perempuan itu sendiri. Banyak perempuan cenderung tidak
mempercayai pemimpin dari kalangan mereka sendiri karena menjadikan
laki-laki sebagai tujuan final urusan kepemimpinan. Perempuan seperti ini
menjadikan QS. An-Nisa ayat 34-“Lelaki-lelaki
adalah pemimpin perempuan-perempuan” sebagai pembenar dan dogma.
Kedua, partai politik masih setengah hati memberikan
kesempatan berkompetisi kepada kaum perempuan. Sejauh ini perempuan
seringkali hanya menjadi pelengkap dan pendulang suara. Dalam penentuan nomor
urut pemilihan calon legieslatif misalnya, perempuan kerap mendapatkan nomor
urut tidak strategis. Jikapun mendapat nomor urut jadi, biasanya hanya
diberikan kepada kalangan artis atau yang memiliki modal finansial besar.
Alhasil, kalangan perempuan bermodal terbatas namun
berkualitas yang lahir dari berbagai organisasi sulit maju dalam dunia politik.
Imbasnya, mereka terpaksa harus menghindar dari gemerlap dunia politik
memilih dunia di luar politik (profesional). Apalagi pilihan karir di
dunia profesional saat ini sangat terbuka dan lebih menjanjikan kepada perempuan.
Sederhananya, menurut penulis, dunia politik saat ini belum
menjanjikan sebagai pilihan berkarya bagi perempuan. Mereka lebih
menganggap lini profesional seperti guru, dosen, ilmuwan, ekonom, pengusaha,
dan penulis lebih masuk akal daripada menjadi politisi. Bahkan harus diakui,
pilihan menjadi artis atau model lebih diidolakan.
Membenahi Partai Politik
Melihat kenyataan ini, sudah sepantasnya partai politik di
Indonesia berbenah menawarkan sesuatu yang lebih menjanjikan kepada kaum
perempuan. Partai politik harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
perempuan berkualitas untuk berjuang di dunia politik tanpa mempertimbangan
uang dan status keartisan. Kepada politisi perempuan yang sudah berkecimpung di
dunia politik pun, harus mampu membuktikan dirinya dapat memberikan hasil
positif kepada masyarakat.
Jika semua di atas terwujud, penulis yakin dunia politik
akan menarik dan diidam-idamkan kaum perempuan. Bahkan, jika perempuan
Indonesia sudah memandang dunia politik juga bisa membawa kepada kesuksesan
hidup, maka partai politik tak usah lagi pusing mencari politisi perempuan
sehingga UU keterlibatan 30% perempuan dalam politik tidak perlu lagi ada.
Kesadaran Baru
Butuh pelurusan pemikiran dan pandangan baru tentang
kepemimpinan kaum perempuan. Ayat An-Nisa ayat 34 ini dipahami salah kaprah
oleh sebagian besar masyarakat. Padahal sebenarnya ayat tersebut berbicara
tentang kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap seluruh keluarganya dalam
bidang rumah tangga semata. Kepemimpinan itupun tidak lantas mencabut hak-hak
perempuan (istri) dalam berbagai segi, seperti dalam harta kepemilikan pribadi
meski tanpa ada persetujuan suami.
Jadi, pelurusan pemikiran tentang kebebasan berpolitik bagi
perempuan perlu diterapkan sebagai upaya diri dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar (berpolitik) dalam membangun kehidupan
bangsa dan negara menjadi lebih baik. Walloohu
a’lam bisshowaab.
Ana Diana,
Aktivis HMI-wati Pemalang
CATATAN : Tulisan ini dimuat di harian Radar Tegal (16/08/2013)