Oleh : ANA DIANA SOLICH*
Indonesia dengan
kondisi masyarakat yang majemuk memiliki pertumbuhan kebudayaan agama yang
subur. Kebudayaan sendiri merupakan keseluruhan yang kompleks tentang
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Agama dan kebudayaan
dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lain sebab keduanya merupakan sebuah
nilai dan simbol.
Perwujudan
Islamisasi kebudayaan memerlukan strategi tersendiri agar dapat terus lestari
selama tidak melanggar ajaran dan norma agama, dan agar tidak serta merta
diserang dengan tuduhan bid’ah yang menjadikan suatu kebudayaan arif positif
menjadi punah. Salah satu basic yang sebenarnya dapat mewadahi dakwah dan
pembelajaran multidimensi, kaffah, dan komprehensif adalah masjid. Namun hari
ini masih banyak kekeliruan orientasi dalam diri umat Islam saat memberdayakan
masjid.
Selain sebagai tempat ibadah bagi kaum muslim,
masjid memiliki fungsi yang sangat beragam dalam menejemen pengelolaannya,
mulai dari ubudiyah, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Beberapa masjid besar sudah
menerapkan pengelolaan terpadu, sebagian takmir masjidnya sudah memfungsikan
keberadaan masjid layaknya pada masa Rasulullah SAW. Namun, masih ada juga yang
belum mengoptimalkan sehingga masjid hanya dijadikan media hubungan
transendental.
Lepas
dari fungsi-fungsi tersebut, kondisi masjid kini banyak yang telah berubah.
Peranan masjid di masa lalu telah digoyangkan dengan lembaga-lembaga baru,
yakni organisasi keagamaan baik swasta maupun pemerintah yang ikut secara
langsung ataupun tidak langsung memonitori kelangsungan duniawi dan ukhrowi umat
beragama. Sangat sensitif jika kita menengok pada kesan kepemilikan masjid atas
suatu lembaga tersebut. Lembaga tersebut dapat berkiprah dan menundukkan sistem
material dan teknis melebihi masjid itu sendiri.
Adanya
masjid saat ini menampakkan bahwa agama Islam semakin terkotak-kotakkan menjadi
kubu-kubu tertentu. Belum lagi jika masjid sudah menjadi simbol kepentingan
atau malah kekuatan politik tertentu. Masyarakat yang berkiblat pada ormas
tertentu misalnya, enggan untuk sekedar mendatangi dan beraktivitas di masjid
yang background ormasnya berbeda dengan yang diikutinya. Para orang tua tidak
mau memasrahkan anaknya untuk belajar mengaji kalau bukan masjid tempat anaknya
belajar sesuai dengan ormas yang sepaham.
Fenomena ini semakin
mengidentikkan perbedaan, seperti Muhammadiyah, NU, Salafi, dan lainnya.
Semisal, masjid A untuk yang bersarung, masjid B untuk yang celananya di atas
mata kaki, masjid C untuk yang berjilbab besar, atau masjid D untuk yang jilbab
funky dan gaul. Hal ini dapat berdampak pada perluasan jarak kesenjangan dalam
intern umat beragama. Sudah banyak permasalahan yang berawal dari adanya
pemahaman terhadap suatu kaidah agama, meskipun tidak sampai terjadi
perpecahan, namun penghayatan akan fungsi dan nilai masjid menjadi tidak
semestinya.
Masjid Kampus – Gerakan Intelektual
Islam
Masjid kampus, khususnya
di kampus sekuler dulu hanya berfungsi sebagai tempat salat mahasiswa saja.
Seiring dengan belanjutnya era yang disertai pembaruan infrastruktur fisik
maupun non fisik, kini masjid kampus telah bertambah fungsinya, mulai dari
diskusi, kajian, dan strategi syiar, dan atau kegiatan akademik-non akdemik
lainnya. Masjid kampus selayaknya dapat melahirkan generasi intelektual Islam
baru.
Gerakan-gerakan
mahasiswa Islam seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI dapat menjadi motor dan katalis
bagi berlangsungnya nafas Islam dan akademik di kampus. Adanya gerakan
mahasiswa tersebut semestinya menjadikan wajah Islam semakin spektakuler.
Permasalahannya, bagaimana mengintegrasikan mereka ke dalam umat?
Melalui
masjid kampus, jamaah atau studi kampus, dan organisasi mahasiswa Islam yang
sehat, dapat melahirkan kebudayaan baru, studi Islam kekinian, dan yang paling
penting bagaimana nanti mereka dapat berinteraksi dengan masyarakat di luar
sebagai pengahayatan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi sesuai dengan
basic keilmuannya. Sayangnya, tidak banyak organisasi mahasiswa Islam yang bisa
leluasa masuk ke masjid kampus karena sifat organisasi tersebut bukan
organisasi internal kampus. Hanya gerakan yang memiliki channel ke internal kampus yang bisa masuk. Ironisnya, kadang warga
kampus tidak sadar ketika masuknya gerakan tersebut bisa saja diboncengi oleh
lembaga atau kekuatan lain yang bisa saja bersifat politis dan ekstrim.
Semuanya
kembali pada gerakan mahasiswa itu sendiri sebagai pelopor peradaban inetelektual
Islam. Bagaimana membumikan nafas inetelektual tersebut? Satu yang menjadi PR
adalah bagaimana mereka dapat
mempertanggungjawabkan label Islam yang ada pada Gerakan mahasiswa Islam itu
sendiri. Yakin Usaha Sampai!
*mahasiswi Fakultas Biologi
Unsoed dan pegiat Bale Adarma Purwokerto
Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cbg. Purwokerto kom. Biosains
CATATAN : Tulisan ini dimuat di kolom Public Service harian
SATELIT POST Kamis, 5 Juli 2012, halaman 10.