Sejarah membuktikan
bahwa perkembangan pemikiran keIslaman memiliki riwayat yang cukup panjang dan
berliku. Pemikiran tersebut terus menerus berlangsung karena proses kebudayaan
masyarakat senantiasa berkembang dan semakin kompleksnya segala persoalan yang
ada di tengah masyarakat. Islam sebagai agama yang diridloi Allah SWT mampu
tampil adaptif terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat, walaupun tidak
sedikit terdapat benturan terhadap tatanan sosial, politik, budaya dan lain
sebagainya.
Negara Indonesia sendiri
adalah sebuah negara yang terdiri dari beraneka ragam masyarakat, suku bangsa,
etnis, kepercayaan, agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap orang tentunya memiliki pandangan yang berbeda
dalam menghadapi hidup dan masalah mereka sendiri. Hal tersebut kemungkinan
besar akan menimbulkan konflik dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi
diantara individu masyarakat. Untuk itulah diperlukan suatu paham pluralisme
untuk mempersatukan suatu bangsa.
Pluralitas agama
sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan mendesak agama-agama untuk
menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Pluralisme agama dan dialog
dianggap penting untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanuiaan
kontemporer, menghadirkan kedamaian, dan sekaligus dapat memperkaya kehidupan
beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
NKRI adalah harga mati
dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan
dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada
tenggang-rasa antar umat beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan
ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi
diamalkan bangsa Indonesia.
1.
Mendefinisikan
Pluralisme
picture: free-opini.blogspot.com |
a. Pluralisme
diliputi semangat religious, bukan hanya sosial kultural.
b. Pluralisme
digunakan sebagai alasan pencampuran antar-ajaran agama.
c. Pluralisme
digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan
ajaran agama lain.[1]
Nurcholish
Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia
mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna
kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan
saling menghormati. Allah berfirman, “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan[2]
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan
tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8. Paparan di atas
menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah
suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara
positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh)
dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.2
Belakangan, muncul
fatwa MUI pada bulan Juli 2005 yang melarang pluralisme. Keluarnya fatwa MUI
ini tidak dapat dilepaskan dari konteks lokal dan global. Di tingkat lokal, maraknya
gerakan pemikiran sosial yang mengagungkan pluralisme dan giat mempromosikan
liberalisme sebagai agama baru cukup meresahkan para elit MUI. MUI khawatir
jika umat Islam akan semakin jauh dari Islam karena pandangan bahwa semua agama
sama. Sedangkan di tingkat global, karena ada desakan dari negara-negara di
dunia untuk membangun sebuah tatanan kehidupan dunia yang damai dengan
membangun sebuah dialog antar-agama secara intensif. Salah satunya diupayakan
dengan membentuk berbagai forum yang secara spesifik mempromosikan pluralisme.[3]
Dalam fatwa tersebut,
MUI mendefinisikan pluralisme sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh
sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama-nya
saja yang benar, sedang agama lain salah. Salah satu konsekuensi dari penyamaan
itu adalah berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengkuti ajaran yang
lain, yang merupakan hal yang tidak dikehendaki
ajaran manapun.[4]
MUI membedakan makna pluralisme dan pluralitas secara terminologis. MUI
melarang pluralisme namun menerima pluralitas agama sebagai kenyataan bahwa
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup berdampingan di negara tertentu.
Salah seorang tokoh
yang giat menolak fatwa MUI adalah M. Dawam Rahardjo. Menurutnya, pembedaan dan
pemisahan antara pluralitas dan pluralisme yang dilakukan MUI mengandung
persoalan sebab pluralisme sebagai pemikiran dan pemahaman atas sebuah
kenyataan yang majemuk tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan kemajemukan itu
sendiri; keduanya berkaitan satu sama lain.[5]
Tanpa pandangan pluralis, kerukunan dan toleransi umat beragama tidak mungkin
terjadi.
Sudah merupakan hal
logis jika iman harus berkaitan dengan paham pluralitas, baik pluralitas
intraumat, maupun antarumat. Dalam Al-Quran terdapat petunjuk tegas bahwa
pluralitas itu adalah kepastian Allah. Segala persoalan perbedaan menyangkut
kebenaran teologis atau kebenaran dari suatu truth claim diserahkan saja kepada Tuhan.[6]
Menurut Nurcholish
Madjid, sebagai kepastian Tuhan, pluralitas itu secara teologis termasuk dalam
kategori Sunnatullah yang tak terhindarkan. Kalau ada perbedaan dalam
menumbuhkan pluralitas, perbedaan yang dapat ditenggang adalah perbedaan yang
tidak membawa kerusakan kehidupan bersama sebagai prinsip etika agama.[7]
Jika terjadi percekcokan dalam masyarakat maka ia harus dipandang sebagai hal
yang wajar. Pluralitas adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah.
sedangkan pluralisme merupakan suatu kejiwaan dan kedewasaan mental dalam
menerima keraraman itu
Meskipun agama itu
plural, namun semuanya akan menuju pada satu kebenaran, yakni kebenaran Tuhan.
Kebenaran itu bersifat plural. Namun kebenaran dalam terminologi agama (Islam),
semuanya harus bermuara pada satu kebenaran mutlak, yaitu kebenaran Tuhan.
Bahkan, semua agama itu, sebgaimana dianalisis Frihjof Schoun, mengandung
kebenaran. Sebab, pada dasarnya semua agama dan ilmu itu berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa.[8]
Pluralisme dan
pluralitas merupakan dua terma yang sering digunakan secara bergantian tanpa
ada penjelasan apakah dua kata tersebut memiliki arti yang sama atau berbeda.
Adakalanya, pluralisme dan pluralitas diartikan sama, yakni sebuah keadaan yang
bersifat plural, jamak, atau banyak. Pluralisme agama adalah suatu sikap
mengakui, menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan mengembangkan keadaan
yang bersifat plural tersebut. Dalam konteks agama-agama, pluralisme mengacu
kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan jalan yang berbeda, menuju
kepada satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan.
2.
Pluralisme
dalam Bingkai Al-Quran
Allah
berfirman dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 48, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. “Bagi
setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu.”.
Bagi Nurcholish Madjid,
pluralisme agama berakar kuat dalam penerimaan Alquran atas keragaman agama: “Bagi
setiap kalian, Kami berikan aturan dan jalan.” Karena itu, Q. 5:48
sangat sentral dalam argumen Cak Nur bahwa pluralisme agama merupakan desain
ilahi bagi kemanusiaan. Katanya, “Alquran mengakui bahwa pluralitas merupakan
suatu fakta kehidupan dan bagian dari tata dunia. Pluralitas semacam ini
terlihat jelas, di antaranya, dalam keragaman agama. Selain
mengakui pluralisme agama sebagai realitas sosial, Cak Nur juga menegaskan
bahwa seluruh agama yang dibawa oleh semua nabi sama-sama mengemban apa yang
disebutnya “universal way,” yaitu
jalan menuju Tuhan.[9]
Banyak orang salah-paham dengan gagasan Cak Nur ini
seolah dia menyamakan semua agama, tanpa memahami konteksnya. Cak Nur tentu
saja tidak menafikan kenyataan sejarah tentang keragaman agama, karena itu ia
juga mendiskusikan elemen partikular agama-agama. Namun, aspek partikular dalam
tradisi setiap agama seharusnya mendorong sikap saling menghargai dan terbuka
untuk belajar satu sama lain.[10] Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat
48 tentu tidak dimaksudkan sebagai pengakuan atau penyamaan terhadap kebenaran
semua agama, karena hal itu adalah sesuatu yang mustahil. Akan tetapi lebih
dimaksudkan sebagai pengakuan bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup
oleh Tuhan, dengan resiko yang akan ditanggung masing-masing baik sebagai
pribadi maupun kelompok.
Alquran
menyuguhkan tesis kesatuan dalam framework pluralisme agama dan
kultural. Model pluralisme agama yang ditawarkan Alquran telah terimplementasi
dalam masyarakat-masyarakat Muslim awal. Piagam Madinah seringkali dijadikan
contoh bentuk pluralisme keagamaan dalam masyarakat muslim awal, dan
diakui bahkan oleh sarjana-sarjana Barat.[11]
Alquran
menegaskan bahwa justru perbedaan itu perlu diambil hikmahnya, agar menjadi
semangat untuk mewujudkan kebaikan (al khair) di masyarakat (Q.S.
Hujurat: 13; Q.S. Al-Maidah: 48). Karena itu Alquran sangat
menganjurkan umatnya untuk selalu memelihara persaudaraan (ukhuwah),
tidak membenarkan sikap-sikap absolutis dan merasa paling benar sendiri,
apalagi merendahkan kaum seiman hanya karena mereka punya pandangan
yang berbeda (Q.S. Al Hujurat : 11). [12]
3.
Pluralisme Agama di Indonesia
Di Indonesia,
pluralitas dan pluralisme terutama yang terkait dengan agama seakan ditakdirkan
selalu berada dalam posisi problematik. Siapapun tidak ada yang menampik
terhadap fakta keragaman di Indonesia. Sejarah keragaman di Indonesia telah
berlangsung sangat lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi
Nusantara pada abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati
satu millennium. Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum
datangnya Islam, masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan
kepercayaan. Tidak hanya Islam. Agama-agama lainnya pun berdatangan.[13]
Indonesia dengan sekian banyak agama,
berarti terdapat pluralisme agama-agama. Namun demikian, secara resmi hanya diakui 5 (lima)
agama yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Buddha.
Belakangan, di era pemerintahan Abdurahman Wahid Khonghucu diakui sebagai agama.
Terdapat persoalan pembedaan antara agama yang
diakui (resmi) dan agama yang tidak diakui (tidak resmi) di Indonesia.
Persoalan ini terus mengemuka dan dipertanyakan terutama oleh kaum intelektual.
Djohan Effendi (bersama-sama dengan Gus Dur dan kawan-kawan) memperjuangkan keinginan
agar semua orang yang disebut “kaum minoritas” diberi hak dan kebebasan
mengungkapkan keberagamaannya di muka umum. Bukan rahasia lagi, bahwa yang
disebut agama-agama suku seperti Permalim di Sumatera, Marapu di Sumba,
Jingitiu di Sabu, dan berbagai agama-agama suku lainnya tetap hidup sampai
sekarang. Di Kalimantan, agama Kaharingan didesak untuk menggabungkan diri
dengan agama Hindu Dharma. Tepat apabila pemahaman tentang “resmi”dan “tidak
resmi”, “diakui” dan “tidak diakui” terhadap agama-agama ditinjau kembali. Negara
sendiri menentukan kriteria agama diambil dari agama-agama“samawi, yaitu harus mempunyai
kitab suci, nabi, dan seterusnya.[14]
Penentuan sepihak seperti ini jelas dapat merugikan para penganut yang agamanya
tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan itu.
Menurut Andreas, apabila kita berbicara mengenai
pluralisme agama-agama, kita tidak membatasi diri hanya pada agama-agama yang
diakui negara, melainkan juga yang berada di luarnya. Tetapi untuk mengakui
kenyataan ini, kepada kita dituntut kedewasaan beragama. Tercakup di dalam
kedewasaan beragama adalah pengakuan bahwa orang lainpun berhak untuk
menyatakan imannya di muka umum. Tentu saja apa yang diungkapkan itu tidak
harus sesuai dengan iman seseorang, namun seseorang tersebut tidak boleh merasa
terganggu dengan itu selama yang bersangkutan melakukannya dengan cara-cara
yang berkeadaban.[15]
Sebagai contoh, ada satu daerah di Indonesia yang damai
dan pluralis, Mopuya, sebuah dusun di kecamatan Dumoga Utara, kabupaten Bolmong,
Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) memiliki karakter yang damai, toleran, dan
pluralis. Desa terpencil di Provinsi Sulut ini dihuni penduduk dari berbagai
agama: Islam, Hindu, Katolik, dan Kristen dari berbagai denominasi. Uniknya
mereka membangun tempat ibadah bersama-sama, dan bahkan di desa Mopuya Selatan
tempat-tempat ibadah itu dibangun dalam satu komplek di sebuah lahan yang
disediakan oleh pemerintah setempat. Di komplek ini terdapat Masjid Jami’
al-Muhajirin, Pure Puseh Umat Hindu, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja
Pantekosta, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, dan GMIBM PGI Jemaat Immanuel
Mopuya. Tidak sebatas itu, komunitas agama di desa ini juga saling merayakan
hari-hari besar agama mereka dalam semangat penuh kebersamaan dan saling menghargai
perbedaan dan keragaman. Para tokoh agama juga tidak mengajarkan superioritas
agamanya atas yang lain. Karena karakteristiknya yang unik, damai, toleran, dan
pluralis, desa ini pernah menjadi “proyek percontohan” atau model toleransi dan
pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Bahkan mantan Menteri Agama
Tarmizi Taher dan Gubernur EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika
Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagama an di Indonesia,
terutama komunitas Mopuya ini (Jawa Pos, 18 Maret 2008). Terlepas dari
kemampuan masyarakat Mopuya untuk mentransformasikan keberagaman dalam spirit
toleransi, persaudaraan, dan pluralisme serta mengelola perbedaan dalam bentuk
tindakan positif, Sulut memang dikenal sebagai salah satu daerah yang sepi dari
kekerasan sosial di Indonesia. Tidak seperti Maluku, Maluku Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Lombok, Sumatra Barat dan
sebagainya yang rawan konflik dan kekerasan, masyarakat Sulut dikenal mampu me-manage
potensi konflik dengan baik sehingga tidak berubah menjadi kekerasan komunal.
Kekerasan, apapun jenisnya, termasuk “kekerasan berbasis agama” terjadi karena
individu atau kelompok tertentu tidak mampu menyelesaikan konflik yang inherent
dalam setiap manusia itu dengan cara-cara “civil” dan dialog.[16]
4.
Pentingnya Pluralisme dan Tantangannya dalam Beragama
Relasi antarumat beragama selama beberapa dekade
terakhir ini mengalami ketegangan yang membuat masyarakat menjadi takut, tidak
aman, dan saling curiga. Terkait dengan itu, Islam adalah agama yang paling
banyak diperbincangkan. Pemicunya adalah bahwa kaum muslim dicurigai berperan
penting di balik berbagai teror. Ekstremisme di kalangan muslim bisa saja
bukanlah disebabkan oleh watak internal agama Islam itu sendiri, melainkan
lebih disebabkan oleh eksploitasi politis atas simbol-simbol Islam, serta
akibat dari krisis sosial-ekonomi-politik yang diderita masyarakat Islam. Selama
berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan
dan permusuhan dengan dalih “demi mencapai ridla Tuhan dan demi menyebarkan
kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa”. Bahkan agama dijadikan
elemen utama sebagai mesin penghancuran manusia. Suatu kenyataan yang sangat
bertentangan dengan ajaran semua agama di bumi ini.
Tantangan paling besar menurut Ilham Masykuri Hamdie
dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama bisa
mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.[17]
Secara garis besar pengertian konsep pluralisme itu tidak semata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun perlu adanya keterlibatan aktif dan
interaksi positif terhadap kenyataan majemuk itu. Pluralisme
adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak
agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.[18]
Dewasa ini, agama-agama ditantang untuk
mengambil sikap di tengah-tengah masyarakat pluralis, bagaimana pluralisme
memacu agama-agama memberi arti penting bagi kehidupan dan menjadi jalan bagi
manusia untuk mencapai kedamaian, menemukan bahasa pemersatu yang mampu
menyelaraskan hubungan antaragama. Sikap pluralis semakin diperhatikan dan
diterima banyak pemikir dan tokoh agama, meskipun dalam pengertian yang
berbeda-beda. Benih-benih dan unsur-unsur pluralisme juga ditemukan secara
terpencar-pencar dalam berbagai pemikiran dan sikap yang mengedepankan
toleransi dan keterbukaan.
Dalam bukunya, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama (1989),
Harold Coward mengatakan “Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang
dihadapi agama-agama dunia dewasa ini, meskipun dalam arti tertentu pluralism
keagamaan selalu ada bersama kita.[19]
Dalam zaman di mana ada keterbukaan dan kemungkinan komunikasi yang
begitu luas, sudah merupakan tanggung jawab tersendiri bahwa agama-agama
bertemu satu sama lain dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sangat kritis
mengenai apa yang disebut dalam teologi sebagai “klaim kebenaran”.
Dewasa ini, saat pluralisme
menjadi kenyataan, setiap agama dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar
mengenai klaim “kebenaran” agamanya sendiri dihadapan agama lain. Tantangan yang kita hadapi bukan
bagaimana menyelamatkan agama dari keaneragaman teologi, misi, dan tradisi,
melainkan bagaimana membangun komitmen menghargai perbedaan itu. Al-Qur'an
sendiri hanya menganjurkan agar kita mencari-cari titik temu (kalimatun sawa'),
bukan menyeragamkan perbedaan dalam teologi, ritual atau institusi, sebab
keragaman itu memang desain Ilahi
8.
Pengembangan Pluralisme dan Anti Kekerasan Antar-Intra Umat Beragama
Dalam konteks
masyarakat pluralistik, maka syariah harus mampu mengakomodir
kepentingan-kepentingan kaum minoritas sebagai bagian dari hak-hak dasar yang
harus diakuinya. Bukan saja pada kelompok mayoritas yakni Islam tetapi
sekaligus menempatkan kaum minoritas bukan sebagai second human, yang derajatnya di bawah kaum muslimin.[20]
Identifikasi problem masyarakat agama dalam realitas pluralisme agama
yang ada di Indonesia harus dilakukan secara terbuka, sehingga di antara mereka
saling memahami apa yang menjadi harapan dan ketakutan dalam bermasyarakat.
Kekerasan
agama atau sacred violence selain
muncul dari adanya teks-teks suci, dogma, dan tafsir agama, juga disebabkan
karena agama dijadikan sebagai barang yang magis dan serba mutlak. Agama
dipandang tidak bisa diinterpretasikan, apalagi disesuaikan dengan keinginan
manusia. Dengan menjadikan agama sebagai berhala-berhala baru, orang beragama
merasa dalam beragamanya paling sempurna sehingga orang lain pasti salah dan
harus dipertobatkan.[21]
Pada akhirnya,
keagamaan bertentangan dengan kemanusiaan sebagai bagian terpenting dari ajaran agama-agama.
Agama berubah menjadi sesuatu yang ekstrem dan kemanusiaan dihadapkan dengan
ketuhanan yang serba mutlak. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya didesak
untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi
juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama-agama
dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu[22].
Dengan hadirnya agama-agama dan menerima pluralisme, maka akan
lahir toleransi dalam kehiupan beragama. Toleransi sendiri
merupakan salah satu unsur budaya demokrasi yang diyakini merupakan faktor
menentukan bagi tercitanya konsolidasi demokrasi[23].
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama. Tidak ada perdamaian agama
tanpa perdamaian dunia. Kita hidup dalam realitas pluralitas yang merupakan
sunatullah, sekaligus menjadi way of life,
dari sinilah demokrasi dalam kehidupan beragama akan tumbuh.[24]
Beberapa jalan keluar yang
dimungkinkan dapat mengembangkan pluralisme dan anti kekerasan dalam beragama di
Indonesia yakni:
a. Melalui Upaya Dialog
Intern dan Antar Umat Beragama
Upaya mewujudkan suatu dialog bukan persoalan mudah. Ini
membutuhkan perubahan cara pandang dan cara bertindak berkaitan dengan
kehadiran berbagai budaya dan agama. Kunci untuk memahami proses dialog adalah
bersandar pada kehendak untuk membuka diri pada perjumpaan secara otentik, dan
pada kehendak untuk muncul secara kritis dan objektif.[25]
Dialog
antaragama yang berangkat dari ketidakjelasan konsep dan persepsi pada akhirnya
hanya akan membuahkan forum yang saling menghujat, mengadili, dan membenarkan
kelompoknya.[26]
Meluasnya
konflik-konflik dan rasa ketakutan terhadap apa yang akan terjadi, semakin
berpengaruhnya rasa tidak percaya kepada orang lain, kecurigaan, sudah
selayaknya akan memberi “semangat” bagi kerjasama antaragama. Kesempatan
itu menjadi releven bagi agama-agama untuk menjadikannya sebagai arena untuk
bertemu, bekerja sama, melakukan dialog-dialog serta komunikasi yang
konstruktif.
Dialog
kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan yang dapat
dilakukan oleh umat beragama, baik antar agama berbeda, atau seagama yang
menganut madzhab berbeda. Dialog-dialog tersebut diharapkan, minimal
menghasilkan wawasan emansipatoris, yang “membebaskan”, karena terjadinya
pertukaran dan pemahaman timbal-balik yang lebih baik di antara umat beragama.
Harapan ini dapat “membebaskan” pihak-pihak yang terlibat dalam dialog dari
prasangka, bias, persepsi tidak akurat, kecurigaan, bahkan saling
bermusuhan dan saling membenci yang dapat menciptakan konflik.[27]
Seiring merebaknya kelompok-kelompok agama militan-konservatif, bangsa
Indonesia tentunya perlu mengkloning dan melipatgandakan para empu pluralisme
dan dialog agama sejati.
b.Membumikan Nilai-Nilai
Pancasila (di Indonesia)
Nurcholish Madjid benar
dengan perkataannya bahwa Islam memberikan landasan teologis yang memadai untuk
mencari titik temu antara penganut berbagai agama berkitab suci (Q.S. Ali
’Imran/3:64). Jika titik temu gagal atau ditolak, maka masing-masing harus diberi
hak untuk secara bebas memperta-hankan sistem keimanan
yang dianutnya. Titik temu antara agama-agama adalah paham Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila.[28]
Diterimanya
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis
bahwa nilai-nilai Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan bagi
penyelenggaraan negara Indonesia. Makna nilai ketuhanan pada sila pertama
Pancasila juga memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan memeluk agama,
menghormati kemerdekaan beragama, serta tidak berlaku diskriminatif antar umat
beragama. Membumikan
Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang
hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Internalisasi
nilai-nilai Pancasila bisa juga melalui pendidikan formal maupun nonformal
(masyarakat). Pada tataran pendidikan formal, perlu revitalisasi mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan, termasuk juga pendidikan agama. Pancasila harus
dimasyarakatkan sebagai rujukan bersama semua golongan agama, ras, suku, dan
kelompok kepentingan. Semua agama harus menjadikan Pancasila sebagai suatu
objektivikasi ajaran agamanya, termasuk Islam.[29]
c. Menanamkan Nilai dan Kultur
Pluralisme dalam Pendidikan
Dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan sekaligus
kesalahpahaman antar dan intra umat beragama baik di tingkat elit, lebih-lebih
di level akar rumput. Diperlukan banyak institusi dan program-program yang
mampu mendorong proses transformasi agama ini. Lembaga-lembaga seperti Center
for Religious and Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gajah Mada
(UGM) Yogyakarta serta Indonesian Consortium for Religious Studies yang
didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di
Yogyakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur
pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain. Demikian juga
model “pendidikan agama inklusif” yang diterapkan STIE IBII Jakarta perlu
digetoktularkan perguruan tinggi lain.[30]
Lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini sejak
Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi perlu ada mata pelajaran cross-cultural
yang melibatkan non-Muslim dalam proses pengajaran supaya terjadi proses
penanaman nilai-nilai pluralisme sejak dini. Demikian juga sekolah-sekolah
non-Islam perlu melibatkan para pendidik muslim kredibel dan pluralis dalam
proses pengajaran supaya terjadi proses dialog. Kurikulum pendidikan yang
toleran-pluralis perlu diterapkan sejak dini supaya siswa didik terbiasa dengan
keragaman dan perbedaan dan mampu menyikapi kemajemukan dan perbedaan itu
dengan sikap “dewasa,” peaceful, dan nir-kekerasan. Kaum pendidik diharapkan
dapat memaparkan bahwa agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak
perdamaian, persatuan, toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor
kekerasan, perpecahan, dan antipluralisme seperti dilakukan kelompok
militan-radikal agama.
by: Ana Diana Solich - yakin usaha sampai
by: Ana Diana Solich - yakin usaha sampai
[1]
Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana
Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 28.
[2] Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai
70 Tahun Djohan Effendi (Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta, 2011), h. 288.
[3]
Ibid, h. 30-31.
[4] Ibid, h. 31-32.
[5] Ibid, h. 32.
[6] Budhy Munawar, Tugas Cendekia
Muslim: Modernisme dan Tantangan Pluralisme Keagamaan, dalam Kebebasan Cendekiawan (Yogyakarta:
Pustaka Republika, 1996), h. 234.
[7] Ibid,
h. 235.
[8] Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 9.
[9] Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, (Yayasan
Abad Demokrasi: Jakarta, 2011), h. 153.
[10]
Ibid
[11] Madjid, Islam: Doktrin
dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), hal. 195.
[12] .
Merayakan Kebebasan
Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi(Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta, 2011), h. 452.
[13]
Syamsul Arifin, Konstruksi Wacana
Pluralisme Agama di Indonesia, makalah, UMM Malang
[14]
Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi(Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta,
2011) , h. 77-78
[15] Ibid, h. 80.
[16] Ibid, h. 174.
[17] Ibid, h. 119.
[18]
Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), h. 29.
[19] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-agama
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), h. 167.
[20] Zuly Qodir, Islam Syariah vis-à-vis Negara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
h. xv.
[21] Ibid,
h. 225.
[22] Eka
Darmaputera, “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa
sembilanpuluhan:Sebuah introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme, Agama-agama danTeknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993), hlm. 14-15.
[23] Saiful
Mujani, Muslim Demokrat (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 316.
[24] Zuly
Qodir, Islam Syariah vis-à-vis Negara
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 235.
[25] Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi(Yayasan
Abad Demokrasi: Jakarta, 2011), h. 134.
[26] Zuly Qodir, Islam Syariah vis-à-vis Negara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
h. 229.
[27] Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Yayasan Abad Demokrasi: Jakarta,
2011), h. 141-142.
[28]
Nurcholish Madjid, “Islam dan Substansiasi
Paham Kebangsaan di Indonesia”, dalam F.
Suleeman, dkk., Bergumul dalam pengharapan; Buku
Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1999), hlm. 490.
[29] Kuntowijoyo,
Identitas Politik Umat Islam, (Mizan: Bandung, 1997), h. 88-90.
[30] Ibid,
h. 193.